Restorative Justice Dalam Hukum Pidana


Restorative Justice Dalam Hukum Pidana

Restorative Justice Dalam Hukum Pidana

Di dalam praktek penegakan hukum pidana sering kali mendengar istilah Restorative justice atau Restorasi Justice yang dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut dengan istilah keadilan restoratif.

Keadilan restoratif atau Restorative justice adalah Suatu pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya) (upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak. Keadilan yang selama ini berlangsung dalam sistem peradilan pidana di Indonesia adalah keadilan retributive. Sedangkan yang diharapkan adalah keadilan restorative, yaitu keadilan ini adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibatnya dimasa yang akan datang. Keadilan Restoratif adalah model penyelesaian perkara pidana yang mengedepankan pemulihan terhadap korban, pelaku, dan masyarakat. Prinsip utama Restorative justice adalah adanya partisipasi korban dan pelaku, partisipasi warga sebagai fasilitator dalam penyelesaian kasus, sehingga ada jaminan anak atau pelaku tidak lagi mengganggu harmoni yang sudah tercipta di masyarakat.

Kedudukan Restorative justice di Indonesia diatur secara tegas dalam gamblang dalam berbagai peraturan perundang-undangan misalnya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. Dengan demikian, mengingat bahwa Mahkamah Agung (MA) merupakan lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dan sebagai puncak peradilan maka sudah seyogianya apabila Mahkamah Agung (MA) mengadopsi atau menganut dan menerapkan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (Restorative justice). Selain itu, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tepatnya pada Pasal 5 dengan tegas menyebutkan bahwa hakim wajib menggali nilainilai yang hidup dalam masyarakat (the living law atau local wisdom). Dengan demikian, pada hakikatnya hakim harus atau wajib menerapkan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (Restorative justice) dalam menyelesaikan perkara karena pendekatan atau konsep keadilan restoratif (Restorative justice) sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yakni Pancasila, sesuai dengan nilai-nilai hukum adat dan sesuai pula dengan nilai-nilai agama. Perlu pula dikemukakan bahwa konsep keadilan restoratif (Restorative justice) tidak hanya dapat diterapkan kepada Mahkamah Agung (MA). Dalam proses peradilan pidana pada umumnya dan proses peradilan pidana di Indonesia pada khususnya, terdapat beberapa tahapan atau proses yang harus dilalui bagi para pencari keadilan baik di tingkat penyelidikan, penyidikan,penuntutan, pemeriksaan di pengadilan hingga tahap penjatuhan putusan hakim.Bahkan pada tahapan dimana para pencari keadilan melakukan upaya hukum (baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa).

Dalam Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal 407, dan Pasal 482, KUHP konsep restorative justice bisa diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp 2,5 juta.

Selain itu restorative justice dapat digunakan terhadap anak atau perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum, anak yang menjadi korban atau saksi tindak pidana, hingga pecandu atau penyalahgunaan narkotika.

Di dalam restorative justice terdapat prinsip dasar yang merupakan pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku yang melakukan kerja sosial, maupun kesepakatan lain.

Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020, syarat dalam melakukan restorative justice, yaitu:

  • Tindak pidana yang baru pertama kali dilakukan
  • Kerugian dibawah Rp 2,5 juta
  • Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban
  • Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau dianca, dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun
  • Tersangka mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban
  • Tersangka mengganti kerugian korban
  • Tersangka mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana

Penyelesaian perkara dengan restorative justice dikecualikan untuk tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Selain itu, restorative justice tidak berlaku pada tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal, tindak pidana narkotika, lingkungan hidup, dan yang dilakukan korporasi.

Dalam melakukan restorative justice perlu dilakukan beberapa pedoman, di antaranya:

  1. Setelah menerima permohonan perdamaian kedua belah pihak yang ditandatangani di atas materai, dilakukan penelitian administrasi syarat formil penyelesaian perkara melalui restorative justice.
  2. Permohonan perdamaian setelah persyaratan formil terpenuhi diajukan kepada atasan penyidik untuk mendapatkan persetujuan.
  3. Setelah permohonan disetujui oleh atasan penyidik seperti Kabareskrim, Kapolda, Kapolres untuk selanjutnya menunggu ditetapkan waktu pelaksanaan penandatanganan pernyataan perdamaian.
  4. Pelaksanaan konferensi yang menghasilkan perjanjian kesepakatan yang ditandatangani semua pihak yang terlibat.
  5. Membuat nota dinas kepada pengawas penyidik atau Kasatker perihal permohonan dilaksanakannya gelar perkara khusus untuk tujuan penghentian perkara.
  6. Melaksanakan gelar perkara khusus dengan peserta pelapor dan atau keluarga pelapor, terlapor dan atau keluarga terlapor, dan perwakilan masyarakat yang ditunjuk penyidik, penyidik yang menangani dan perwakilan dari fungsi pengawas internal dan fungsi hukum dan unsur pemerintahan bila diperlukan.
  7. Menyusun kelengkapan administrasi dan dokumen gelar perkara khusus serta laporan hasil gelar perkara.
  8. Menerbitkan surat perintah penghentian penyelidikan/penyidikan dan surat ketetapan penghentian penyelidikan/penyidikan dengan alasan restorative justice.
  9. Dalam tahap penyelidikan,  penyelidik menerbitkan surat perintah yang diterbitkan oleh Direktur Reserse Kriminal Mabes Polri, tingkat Polda, dan tingkat Polres atau Polsek.
  10. Mencatat ke dalam buku register baru B-19 sebagai perkara restorative justice dihitung sebagai penyelesaian perkara.

Adanya syarat dan perkara apa saja yang dapat diselesaikan dengan perkara  restorative justice adalah untuk mengedepankan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku.