POLA PEMBERATAN ANCAMAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PIDANA KHUSUS


POLA PEMBERATAN ANCAMAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PIDANA KHUSUS

POLA PEMBERATAN ANCAMAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PIDANA KHUSUS

 

Awalnya tindak pidana khusus dikenal sebagai Hukum Pidana Khusus. Kemudian istilah tersebut berubah menjadi Hukum Tindak Pidana Khusus. Tindak pidana khusus merupakan bagian dari hukum pidana. Hukum ini berada di luar hukum pidana umum yang berlaku terhadap orang maupun perbuatan tertentu dan memiliki keentuan khusus acara pidana. Beberapa tindak pidana khusus yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri di luar KUHPidana yakni :

  1. Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan tindakan melawan hukum dengan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang bisa merugikan perekonomian maupun keuangan negara. Pemberantasan tindak pidana korupsi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sedangkan tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. 

Subjek hukum dari tindak pidana korupsi bisa berupa korporasi dan pegawai negeri. Tindakan korupsi merupakan tindakan yang tidak jujur dan busuk terkait dengan keuangan. Bila dipandang secara normatif, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang bisa merusak tatanan kehidupan bangsa.

2.    Tindak Pidana Pencucian Uang

Tindak pidana pencucian uang terbilang sebagai tindak pidana baru di sistem hukum pidana Indonesia. Tindak pidana ini bukan hanya mengancam integritas sistem keuangan dan stabilitas perekonomian, tapi juga membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Unsur-unsur tindak pidana ini meliputi pelaku, perbuatan melawan hukum serta unsur hasil pidana. 

  1.  Tindak Pidana Terorisme

Terorisme merupakan aktivitas yang melibatkan unsur kekerasan maupun aktivitas lainnya yang melanggar hukum pidana serta menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia. Terorisme merupakan aktivitas yang bertujuan mengintimidasi penduduk sipil dengan melakukan penculikan maupun pembunuhan. Tindak pidana khusus ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. 

4.    Tindak Pidana Psikotropika

Psikotropika merupakan obat atau zat baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang bersifat psikoaktif. Obat-obatan ini mampu mempengaruhi susunan syaraf pusat sehingga menyebabkan perubahan pada aktivitas perilaku dan mental penggunanya. Undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana penggunaan obat-obatan ini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 (UU Psikotropika). Jenis psikotropika yang sering disalahgunakan di masyarakat seperti ekstasi, shabu, amfetamin, obat penenang dumolid, lexotan, mogadon, pil koplo, LSD dan Mushroom.

5.    Tindak Pidana Narkotika

Penggunaan narkotika secara legal hanya bisa dilakukan untuk kepentingan pengobatan maupun ilmu pengetahuan. Sedangkan penggunaannya secara ilegal bisa membuat penggunanya terkena tindak pidana narkotika yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Contoh narkotika yang sering disalahgunakan adalah kanabis, mariyuana, morfin, heroin, petidin, kokain dan hashis. 

6.    Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik

Tindak pidana informasi dan transaksi elektronik (ITE) terbilang masih baru di Indonesia. Tindak pidana ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Subjek hukum undang-undang ini bisa berupa korporasi maupun perorangan. Transaksi elektronik yang dimaksud di sini adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan memanfaatkan jaringan komputer, komputer dan media elektronik lainnya. 

7.    Tindak Pidana Pornografi

Pornografi merupakan tindak kejahatan yang mampu merusak tatanan norma kesusilaan masyarakat. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 mengatur tindak pidana pornografi ini. Subjek hukum dari tindak pidana pornografi bisa berupa korporasi maupun orang. 

Masih ada lagi tindak pidana khusus lainnya yang diatur oleh Undang-Undang sebagai contoh, tindak pidana kepabeanan, tindak pidana cukai, tindak pidana pembalakan hutan secara liar, tindak pidana di bidang pelayaran dan lainnya. Subjek tindak pidana khusus ini bisa berupa korporasi maupun pribadi.

 

Pola Pemberatan Ancaman Pidana Dalam Undang-Undang Pidana Khusus

  1. Pemberatan Umum

Umumnya dalam Undang-undang Pidana Khusus, delik percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat suatu tindak pidana diperberat ancaman pidananya, apabila dibandingkan dengan umumnya delik serupa yang dianccamkan dalam KUHP. Perbuatan yang masih dalam tingkat percobaan atau pembantuan dalam KUHP umumnya diancamkan pidana lebih rendah yaitu dikurangi sepertiga (kecualai dalam tindak pidana makar), apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sempurna (vooltoid), yang dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana terorisme hal ini diperberat dengan mengancamkan pidana yang sama seperrti jika kejahatan selesai atau diwujudkan oleh pembuat (dader).

 

  1. Pemberatan Kualitas Pidana

Pada dasarnya pemberatan ancaman pidana dengan meningkatkan kuantitas pidana dalam Undang-undang Pidana Khusus, dapat dibedakan ke dua bagian. Pertama, pemberatam apabila dibandingkan dengan kejahatan yang mirip seperti yang terdapat dalam KUHP. Kedua, pmebertan pidana dalam Undang-undang Pidana Khusus, karena kekhususan dekliknya. Dalam tindak pidana korupsi pemberatan pidana dilakukan karena keadaan tertentu. Pemberatan kuantitas pidana dalam Undang-undang Pidana Khusus cukup banyak ditemukan apabila dibandingkan antara delik umumnya dalam KUHP dan delik khususnya.

 

  1. Pemberatan dengan Perubahan Model Ancaman Pidana

KUHP hanya mengenal  model pengancaman pidana tunggal atau ancaman pidana alternatif, artinya hanya dimungkinkan penjatuhan satu tindak pidana pokok untuk satu delik (single penalty). Namun beberapa Undang-undang diluar KUHP telah menyimpangi pola umum ini dengan menggunakan model pengancaman kumulatif. Dengan pengancaman kumulatif maka hakim terikat untuk menjatuhkan pidana kedua jenis pidana tersebut sekaligus (double penalties), yang dapat dipandang sebagai pemberatan pidana.

 

  1. Pemberatan dengan Pengancaman Minimum Khusus.

Beberapa undang-undang di luar KUHP menggunakan minimum khusus dalam ancaman pidana, sementara sistem ini tidak dikenal dalam KUHP. Penggunaan model demikian juga dapat dipandang sebagai pemberatan pidana. Dengan system ini, undang-undang bukan hanya menentukan ancaman pidana maksimum yang dapat dijatuhkan hakim, tetapi juga minimumnya. Berlawanan dengan system KUHP yang tidak memperkenankan miminum khusu, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi memperkenankan penjatuhan pidana minimum khusus, baik pidana penjara maupun pidana denda.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka suatu pemberatan pidana dapat dijatuhkan kepada seseorang yang emlakukan suatu tindak pidana baik itu umum maupun khusus dan diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku. Alasan-alasan penjatuhan pidana berat yang dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara berdasarkan kepada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang melakukan suatu tindak pidana.

 

SUMBER : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Teror isme.

                     Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

                     Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Tindak Pidana Pornografi.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

                     Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.