Perbedaan Pidana Pokok dengan Pidana Tambahan


Perbedaan Pidana Pokok dengan Pidana Tambahan

Perbedaan Pidana Pokok dengan Pidana Tambahan

 

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) hukuman/pidana dibedakan menjadi dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pengaturan ini terdapat dalam Pasal 10 KUHP yang mengatakan bahwa pidana terdiri atas: 

1.    pidana pokok yaitu:

a.    pidana mati,

b.    pidana penjara,

c.    pidana kurungan,

d.    pidana denda,

e.    pidana tutupan.

2.    pidana tambahan yaitu:

a.    pencabutan beberapa hak tertentu,

b.    perampasan barang yang tertentu,

c.    pengumuman putusan hakim.

Pengaturan mengenai pidana tambahan juga terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa pidana tambahan tersebut terbatas pada 3 bentuk di atas saja. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 31/1999”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi misalnya, diatur juga mengenai pidana tambahan lainnya selain dari 3 bentuk tersebut, seperti:

1.    perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

2.    pembayaran uang pengganti yang besarnya sama dengan harta benda yang dikorupsi;

3.    penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; dan

4.    pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

 

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 36) menjelaskan bahwa selain hukuman pokok, maka dalam beberapa hal yang ditentukan dalam undang-undang dijatuhkan pula (ditambah) dengan salah satu dari hukuman tambahan. Hukuman tambahan gunanya untuk menambah hukuman pokok, jadi tak mungkin dijatuhkan sendirian.

 

Pada prinsipnya memang pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara berdiri sendiri tanpa pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah merupakan tambahan dari sesuatu hal yang pokok. Akan tetapi dalam beberapa hal atas prinsip tersebut terdapat pengecualian.

 

R. Sianturi dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya mengatakan dalam sistem KUHP ini pada dasarnya tidak dikenal kebolehan penjatuhan pidana tambahan mandiri tanpa penjatuhan pidana pokok (hal 455), akan tetapi dalam perkembangan penerapan hukum pidana dalam praktik sehari-hari untuk menjatuhkan pidana tidak lagi semata-mata bertitik berat pada dapat dipidananya suatu tindakan, akan tetapi sudah bergeser kepada meletakkan titik berat dapat dipidananya terdakwa (hal 456). Hal inilah yang mendasari pengecualian tersebut.

 

Dalam KUHP pengecualian tersebut terdapat dalam Pasal 39 ayat (3) jo. Pasal 45 dan 46, serta Pasal 40. Pasal tersebut intinya mengatur jika terhadap terdakwa dinyatakan bersalah akan tetapi karena atas dirinya tidak dapat dijatuhi hukuman dengan alasan di bawah umur atau tidak waras, maka terhadap barang-barang tertentu yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan dapat rampas oleh Negara.

 

Pengecualian atas prinsip tersebut juga terdapat dalam beberapa aturan di luar KUHP. Dalam Pasal 38 ayat (5) UU 31/1999 dikatakan bahwa dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.

Menurut Hermin Hadiati bahwa ketentuan pidana tambahan ini berbeda dengan ketentuan bagi penjatuhan pidana pokok, ketentuan tersebut adalah:

  1. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana satu-satunya.
  2. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalam rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan dengan tegas sebagai ancaman, ini berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan.
  3. Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi hanya diancamkan kepada beberapa perbuatan pidana tertentu.
  4. Walaupun diancamkan secara tegas di dalam perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini adalah fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya atau tidak.

Perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai berikut:

  1. Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barang-barang tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah. (Pidana tambahan ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).
  2. Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya pada pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan).
  3. Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan hakim dapat dijalankan.

SUMBER :   KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi