PERAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK)


PERAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK)

PERAN LEMBAGA PERLINDUNGAN

SAKSI DAN KORBAN (LPSK)

 

 

Di Indonesia walaupun telah banyak dilakukan sosialisasi tentang pentingnya perlindungan saksi dan korban namun masih ditemukan kesulitan untuk dapat memberikan dan menemukan fakta yang dialami oleh saksi dan korban itu sendiri. Tanpa adanya perlindungan yang memadai untuk saksi dan korban akan membuat mereka sulit memberikan kesaksiannya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilanjutkan dengan dibentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi terobosan untuk mampu menutupi kelemahan-kelemahan berkaitan dengan terabaikannya para saksi dan korban. Namun Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 yang mulai berlaku pada 11 Agustus 2006 ini dinilai masih belum maksimal sehingga LPSK mendorong agar di revisi nya Undang-Undang tersebut.

Dalam proses revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 LPSK melakukan kerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM dengan menyelesaikan naskah akademis yang dilanjutkan dengan adanya Surat Persetujuan Presiden (Surpres), dan kemudian revisi Undang-Undang ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2014.

Setelah melalui proses revisi selanjutnya diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 diharapkan dapat membawa perubahan dan dampak yang besar untuk masyarakat yang membutuhkan perlindungan. Kehadiran dari Undang-Undang ini juga menunjukkan bahwa semakin banyaknya hak-hak dari korban tindak kejahatan yang diakui oleh negara. Seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang menjadi penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 memberikan kewenangan yang lebih kepada LPSK dalam memberikan dan memperjuangkan perlindungan saksi dan korban.

Dalam hal ini, tertuju pada pengertian definisi peran yang diberikan oleh seorang ahli yaitu Muladi yang memiliki pendapat bahwa Lembaga Non Struktural (LNS) merupakan lembaga negara yang bersifat independen serta memiliki tujuan untuk mengakomodasi kepentingan negara melalui pelayanan yang diberikan untuk masyarakat. LPSK yang dibentuk seiring dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu Lembaga Non Struktural (LNS) di mana lembaga ini merupakan lembaga yang dibentuk sesuai dengan Undang-Undang (Undang-Undang).

Selain itu, lahirnya LPSK juga merupakan tuntutan dari masyarakat luas yang menjadi saksi dan korban agar bisa mendapatkan perlindungan dan pelayanan terkait dengan perlindungan saksi dan korban. Pada tahun 2014 dengan adanya revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang pada saat ini telah berubah menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta semakin luas peran dan kewenangan yang diberikan oleh LPSK semakin menguatkan bahwa hadirnya LPSK karena memiliki kepentingan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat luas khususnya saksi dan korban yang membutuhkan perlindungan.

Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Peran LPSK untuk memberikan perlindungan dan hakhak saksi dan korban sebagaimana tertulis di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:

  1. Memberikan Layanan Dukungan Pemenuhan Hak Prosedural

Pemberian layanan perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban khususnya layanan dukungan hak prosedural dapat diberikan untuk memenuhi hak saksi dan korban seperti yang tertulis dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Akan tetapi tidak semua hak-hak sebagaimana tertulis di dalam Pasal 5 dapat diberikan untuk saksi dan korban. Hak-hak yang diberikan hanya hak pendampingan, hak mendapatkan penerjemah, ataupun hak mendapatkan biaya transportasi. Susi Laningtias mengatakan bahwa: Hak prosedural merupakan hak yang diberikan untuk saksi bukan karena ia merasa terancam ataupun terintimidasi tapi karena situasi yang rentan misalnya seperti anak-anak atau korban kekerasan seksual. Mereka tidak terintimidasi ataupun terancam tetapi mereka sangat rentan situasinya. Dengan situasi rentan yang dialami membuat saksi dan korban diberikan layanan dukungan pemenuhan hak prosedural. Untuk memberikan layanan ini kemudian LPSK melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum.

 

  1. Layanan Perlindungan Fisik

Untuk melakukan perannya dalam memberikan jaminan perlindungan fisik bagi saksi dan korban yaitu saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Selanjutnya layanan perlindungan fisik lainnya yang juga diberikan oleh LPSK yaitu aksi dan korban berhak mendapatkan identitas baru dan mendapatkan tempat kediaman baru. Agar saksi dan korban beserta anggota keluarganya yang dilindungi oleh LPSK mendapatkan keamanan, LPSK melakukan penjagaan dan pengawalan Saksi dan korban pun ditempatkan oleh LPSK di rumah aman (safe house) sebagaimana tercantum di dalam UNDANG-UNDANG Nomor 31 Tahun 2014. Hal ini dilakukan agar saksi dan korban beserta anggota keluarganya mendapatkan perlindungan dari segala bentuk ancaman dan kekerasan.

 

  1. Layanan Bantuan Medis

Terkait dengan layanan bantuan medis dapat diberikan oleh LPSK setelah melalui proses Rapat Paripurna yang dilaksanakan oleh anggota LPSK. Terdapat beberapa proses yang harus dipenuhi oleh saksi dan korban yaitu harus menyerahkan beberapa persyaratan yang diperlukan, LPSK memberitahukan kepada saksi dan korban yang telah mengajukan permohonannya terkait layanan bantuan medis, dan yang terakhir dilanjutkan dengan perjanjian antara saksi dan korban dengan LPSK. Setelah melalui proses tersebut maka LPSK melalui Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban (Divisi PHSK) akan merujuk saksi dan korban yang membutuhkan bantuan medis ke rumah sakit ataupun unit medis yang sebelumnya telah dikoordinasikan oleh LPSK. Bantuan medis yang diberikan oleh LPSK meliputi biaya dokter rawat inap ataupun rawat jalan, biaya pengobatan, biaya penggantian transportasi, dan biaya makan-minum termasuk bagi pendamping dari pemohon. Selain itu terdapat pula layanan medis seperti pelayanan yang bersifat urgensi dan medis emergensi. Pelayanan yang bersifat urgensi merupakan layanan yang harus dilakukan secara cepat untuk korban sedangkan pelayanan yang bersifat emergensi merupakan layanan yang diberikan untuk korban yang menghadapi ancaman.

 

  1. Layanan Bantuan Psikologis

Layanan bantuan psikologis diberikan untuk saksi dan korban dengan melewati beberapa pertimbangan, yaitu: layanan bagi korban pelanggaran HAM berat dengan mempertimbangkan rehabilitasi psikologis akibat trauma atas kejadian masalalu yang dialaminya pada saat terjadi pelanggaran HAM, layanan bagi korban tindak pidana tertentu dapat diberikan dengan mempertimbangkan proses hukum yang sedang berjalan dan penguatan kondisi psikis dari korban, dan layanan bagi korban tindak pidana terorisme dapat diberikan dengan mempertimbangkan rehabilitasi psikologis akibat dari peristiwa terorisme yang dialaminya.12 Bentuk layanan ini juga dapat diberikan oleh LPSK setelah melalui proses Rapat Paripurna yang dilakukan oleh anggota LPSK. Bentuk bantuan psikologis yang diberikan pun berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan para saksi dan korban. Seperti korban pelanggaran HAM berat akan diberikan bantuan psikologis oleh LPSK berupa rehabilitasi psikologis, karena korban pelanggaran HAM berat mengalami trauma akibat peristiwa masa lalu yang dihadapinya. Kemudian saksi dan korban yang berasal dari kasus lainnya diberikan bantuan psikologis oleh LPSK dengan mengikuti proses yang sedang berjalan.

 

  1. Layanan Bantuan Rehabilitasi Psikososial

Layanan bantuan rehabilitasi psikososial dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang tertulis dalam Pasal 6 UNDANG-UNDANG Nomor 31 Tahun 2014 yang didalamnya berisikan sebagai berikut:

1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat, selain berhal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan:

a. bantuan medis; dan

b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis

2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan putusan LPSK.

  1. Layanan Fasilitasi Pengajuan Kompensasi

Bagi layanan kompensasi diberikan oleh LPSK setelah adanya keputusan dalam Rapat Paripurna. Pada saat ini berdasarkan Pasal 7 UNDANG-UNDANG Nomor 31 Tahun 2014 kompensasi diberikan untuk korban pelanggaran HAM berat dan korban terorisme. Untuk korban pelanggaran HAM berat kompensasi dapat diajukan oleh korban, keluarga, ataupun kuasanya kepada pengadilan Hak Asasi Manusia melalui LPSK.

  1. Layanan Fasilitasi Pengajuan Restitusi

Untuk memfasilitasi permohonan restitusi dilakukan oleh LPSK dengan cara mempersiapkan dokumen kerugian yang di derita atau dialami oleh korban, menghitung jumlah kerugian yang diderita oleh para korban sesuai dengan bukti yang ada dan hasil perhitungan kerugian ditandatangani oleh korban, dan mengirimkan permohonan restitusi ke pengadilan atau Jaksa Penuntut Umum (JPU) disertai dengan jumlah kerugian yang menjadi dasar untuk Majelis Hakim dalam memberikan putusan atas pengajuan restitusi.

 

SUMBER : Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.