Pemecahan Sertifikat Tanah Warisan
Pemecahan Sertifikat Tanah Warisan
Di tulis oleh : Adv. Lilis Supriatin, S.H.
PEMBAHASAN
Peralihan hak atas tanah tersebut harus disertai dengan surat tanda bukkti sebagai ahli waris dan akta pembagian waris. Hal ini diatur berdasarkan Pasal 42 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Peraturan Pemerintah Pendaftaran Tanah) yang berbunyi,
“Jika penerima warisan lebih dari satu orang dan waktu peralihan hak tersebut didaftarkan disertai dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun tertentu jatuh kepada seorang penerima warisan tertentu, pendaftaran peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun itu dilakukan kepada penerima warisan yang bersangkutan berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan akta pembagian waris tersebut.”
Menurut Surat Mahkamah Agung (MA) RI tanggal 8 Mei 1991 No. MA/kumdil/171/V/K/1991 yang menunjuk Surat Edaran tanggal 20 Desember 1969 No. Dpt/12/63/12/69 yang diterbitkan oleh Direktorat Agraria Direktorat pendaftaran Tanah (Kadaster) di Jakarta menyatakan Surat Keterangan Hak Waris (SKHW) untuk Warga Negara Indonesia itu:
- Golongan Keturunan Eropa (Barat) dibuat oleh Notaris.
- Golongan penduduk asli dibuatkan Surat Keterangan oleh Ahli Waris yang disaksikan oleh Lurah/Desa dan diketahui oleh Camat.
- Golongan keturunan Tionghoa oleh Notaris.
- Golongan Timur Asing bukan Tionghoa oleh Balai Harta Peninggalan (BHP).
Akan tetapi, bila Anda tetap ingin membuat penetapan ahli waris, maka pengadilan (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama) yang mengeluarkannya. Penetapan ahli waris untuk yang beragama Islam dibuat Pengadilan Agama atas permohonan para ahli waris. Dasar hukumnya adalah pasal 49 huruf b Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Sementara penetapan ahli waris yang beragama selain Islam dibuat Pengadilan Negeri. Yang dasar hukumnya adalah pasal 833 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
- Persyaratan Hibah Wasiat
Pemecahan warisan sering dikenal dengan istilah hibah wasiat. Perkara ini mengambil contoh Kompilasi Hukum Islam dengan masyarakat penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim. Adapun di dalam Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disyaratkan bahwa :
- Wasiat dilakukan secara lisan, di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau Notaris;
- Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak banyaknya 1/3 dari seluruh harta warisan, kecuali apabila semua ahli waris menyetujui;
- Wasiat kepada ahli waris berlaku apabila disetujui semua ahli waris;
- Persetujuan dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan dua orang saksi dan notaris.
Jika dalam hal ini tidak dibuatkan akta hibah wasiat secara notarial, setiap kali terjadi kematian harus terjadi proses pewarisan. Walaupun tanah tersebut nantinya dipecah dua dan diberikan kepada tiap-tiap nama, tahapan-tahapan yang mesti dilalui adalah sebagai berikut :
- Proses turun waris (balik nama waris) dengan membayar pajak waris sehingga tanah dibalik nama ke atas nama seluruh hak waris.
- Setelah itu, dilakukan pemecahan sertifikat menjadi dua bagian (X dan Y).
Untuk Syarat administrasi yang harus diepnuhi ialah :
- Data tanah
- Sertifikat asli;
- PBB asli 5 tahun terakhir, berikut Surat Tanda Terima Setoran:
- IMB asli.
- Data pemberi dan penerima hibah
- Fotokopi KTP;
- Fotokopi Kartu Keluarga;
- Fotokopi akta kelahiran.
Sumber : Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama