Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana


Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana

Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana

Pembuktian merupakan titik sentral didalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara dan perbuatan membuktikan untuk menunjukkan benar salahnya terdakwa terhadap suatu perkara pidana didalam sidang pengadilan. Pembuktian merupakan penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum berkewajiban untuk membuktikan peristiwa-peristiwa yang dikemukakan dengan mengajukan alat bukti di muka persidangan untuk di nilai kebenarannya oleh Majelis Hakim.

Kemudian Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum dan Majelis Hakim melakukan penelaah hukum. Oleh Jaksa Penuntut Umum, mengungkapkan hasil pembuktian dilakukan dalam surat tuntutannya (requistoir). Lalu Penasehat Hukum menanggapi surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam nota Pembelaan (pledoi), dan selanjutnya akan dibahas oleh Majelis Hakim dalam putusan akhir (vonis) yang dijatuhkan.

Acara pembuktian Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum dan Majelis Hakim yang memimpin pemeriksaan perkara pidana di persidangan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum pembuktian yang mengatur tentang cara pembuktian, beban pembuktian, macam-macam alat bukti, serta kekuatan alat-alat bukti tersebut, dan sebagainya

M. Yahya Harahap menyatakan bahwa

“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.”

M. Yahya Harahap menyebutkan, ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah diatur pula beberapa pedoman dan penggarisan

  1. Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa.
  2. Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang.
  3. Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan persidangan.

Terhadap sistem pembuktian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menentukan bahwa:6 “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinannya bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Kriteria menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa, hakim harus memperhatikan aspek-aspek

 

  1. Kesalahan terdakwa harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Hal ini dalam pandangan doktrina dan para praktisi, lazim disebut dengan terminologi asas minimum pembuktian. Asas minimum pembuktian ini lahir dari acuan kalimat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah haruslah berorientasi kepada 2 (dua) alat bukti sebagaimana ditentukan limitatif oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Apabila hanya ada 1 (satu) alat bukti saja, dengan demikian asas minimum pembuktian tidak tercapai sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana.
  2. Bahwa atas dua alat bukti yang sah tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan terdakwalah pelakunya. Dari aspek ini, dapatlah dikonklusikan bahwa adanya dua alat bukti yang sah tersebut belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila hakim tidak memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya apabila keyakinan hakim saja adalah tidak cukup jikalau keyakinan itu tidak ditimbulkan oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

 

Menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat-alat bukti adalah:11

  1. Keterangan saksi;
  2. Keterangan ahli;
  3. Surat;
  4. Petunjuk;
  5. Keterangan terdakwa.

Sumber : M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm.273  

Mulyadi, Lilik, 2007, Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, Alumni hlm 197