PELAKSANAAN PERKAWINAN MENGGUNAKAN WALI HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM. (Studi Kasus KUA kecamatan Lebakwangi  kabupaten Kuningan)


PELAKSANAAN PERKAWINAN MENGGUNAKAN WALI HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM. (Studi Kasus KUA kecamatan Lebakwangi  kabupaten Kuningan)

PELAKSANAAN PERKAWINAN MENGGUNAKAN WALI HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.

(Studi Kasus KUA kecamatan Lebakwangi  kabupaten Kuningan)





  1. PEMBAHASAN

 

  1. PENGATURAN WALI NIKAH DALAM PERKAWINAN

Wali adalah suatu ketentuan hukum syara yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dngan bidang hukumnya.  Di dalam kitab al-Mu’jam al-wasit disebutkan bahwa arti dari wali adalah: “Setiap orang yang menguasai atau mengurus suatu perkara atau orang yang melaksanakannya” [1]

Wali dalam suatu perkawinan merupakan suatu hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya, Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain.[2]

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam wali nikah dalam suatu perkawinan merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim menjadi peraturan yang mengatur masalah Perkawinan di Indonesia. Dalam Ketentuan Pasal 30 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim, wali hakim memiliki kedudukan  sebagai berikut : Seperti yang tercantum dalam Pasal 23 Ayat (1) yang mana “wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan”. Untuk wali yang adhal atau enggan diperjelas dalam pasal 23 ayat (2), bahwa “Dalam hal wali Adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah adanya putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut”.

Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim, Pada  Pasal 2 Ayat (1) Menyatakan bahwa ”bagi calon mempelai perempuan yang akan melangsungkan perkawinan di wilayah Indonesia dan di luar negeri atau di luar territorial Indonesia, namun calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat atau mahfud atau berhalangan serta adhal, maka perkawinannya dilangsungkan dengan wali hakim”.

Dengan berlakunya ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Peraturan Menteri Agama  Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim memberikan kemudahan bagi calon mempelai laki–laki dan mempelai perempuan yang ingin melangsungkan perkawinan, Khususnya bagi calon mempelai Perempuan yang memiliki masalah dalam perwaliannya.

 

  1. PELAKSANAAN PERKAWINAN MENGGUNAKAN WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) KECAMATAN LEBAKWANGI KABUPATEN KUNINGAN.

Pada umumnya Perkawinan menggunakan wali hakim memiliki beberapa faktor yaitu :

  1. Bila abin, Adalah Apabila mempelai perempuan merupakan Anak luar kawin atau anak yang di lahirkan diluar perkawinan yang sah, Putus Wali, Adalah Apabila mempelai perempuan sudah tidak mempunyai wali Nasab
  2. Putus Wali, Apabila mempelai perempuan (calon istri) sudah tidak mempunyai wali Nasab
  3. Masyatul Qoslr
  4. Tempat tinggal orang tua mempelai wanita tidak di ketahui alamatnya

Wali Ghaib, wali pergi dalam perjalanan sejauh 92,5 atau dua hari perjalanan.[3]

Pelaksanaan Wali hakim di Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan lebakwangi Kabupaten Kuningan di Tahun 2015 terjadi sebanyak 12 Kasus. kasus tersebut Terdiri dari :

  1. Bila Abin Sebanyak 9 kasus
  2. Putus Wali Sebanyak 1 kasus
  3. Tidak diketahui Alamatnya Sebanyak 1 kasus
  4. Ghaib Sebanyak 1 kasus.

Diantara faktor–faktor  pelaksanaan perkawinan dengan wali hakim yang di sebutkan di atas pada Tahun 2015,  faktor yang paling signifikan yaitu karena Bila Abin, walaupun nasab mempelai perempuan masih ada dan lengkap, pelaksanaan perkawinan tetap harus menggunakan wali hakim di karenakan wali kehilangan hak kewaliannya. sebab mempelai perempuan merupakan Anak Luar Kawin (ALK), atau anak yang di lahirkan diluar perkawinan yang sah.karena justru apabila mempelai perempuan tetap di walikan oleh ayah kandungnya perkawinan tersebut tidak sah.

Pada intinya wali hakim hanya dapat bertindak sebagai wali dalam pelaksanaan perkawinan apabila terjadi hal ihwal yang telah di uraikan diatas dan dalam keadaan darurat, karena kedudukan wali hakim hanya sebagai pengganti apabila mempelai wanita sudah tidak memiliki wali nasab dan keharusan pelaksanaan menggunakan wali hakim.

 

  1. PENUTUP

 

  1. KESIMPULAN

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab Sebelumnya, dan dari hasil penelitian yang dilakukan penyusun dilapangan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

  1. Pengaturan Wali Nikah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang  Perkawinan dan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Peraturan  Perundang–Undangan Perkawinan Indonesia diatur sebagai berikut:

Dalam Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan Bahwa Negara menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) warga negaranya, salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) tesebut dengan cara membentuk keluarga dan melestarikan keturunannya dalam ikatan perkawinan yang sah.

Kemudian  Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Wali nikah dibagi menjadi 2 yaitu wali nasab dan wali hakim. Dan dalam Pasal 23 ayat (1)  Kompilasi Hukum Islam Menjelaskan bahwa : “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau tidak mungkin menghadirkannya atau enggan menikahkannya, dan dalam Pasal 23 ayat (1) khusus untuk menyatakan keenganan wali yang enggan menikahkan putrinya, maka calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki–laki harus mengajukan permohonan ke pengadilan Agama. yang kemudian Pengadilan Agama (PA) akan mengeluarkan putusan yang menyatakan keengganan wali menikahkan putrinya.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dalam Undang-Undang Sama sekali tidak membahas mengenai wali nikah namun Undang-Undang ini hanya membahas mengenai batas Usia untuk seseorng dapat melangsungkan perkawinan serta menjelaskan tentang hubungan anak dan orang tua dalam kaitan harta benda. Masalah Perkawinan Menggunakan Wali hakim Lebih spesifik di bahas dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim, dalam Peraturan ini menjelaskan bahwa“ Perempuan yang akan melangsungkan perkawinan di wilayah Indonesia dan di luar negeri atau di luar teritorial Indonesia, namun calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat atau mahfud atau berhalangan serta adhal, maka perkawinannya dilangsungkan dengan wali hakim.

 

 

  1. Pelaksanaan Perkawinan Menggunakan Wali Hakim di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Lebakwangi Kabupaten

Pelaksanaan perkawinan menggunakan wali hakim di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Lebakwangi ada sebanyak 12 Kasus, diantaranya karena Putus wali 1 kasus, Bila abin 9 Kasus, wali tidak diketahui tempat tinggalnya 1 kasus, ghaib 1 kasus, Dari total yang melangsungkan Perkawinan sebanyak 417 Pasangan dalam Kurun waktu 1 tahun di Tahun 2015. Dan dapat dikakulasikan sebanyak 3.88% pasangan melangsungkan perkawinan menggunakan wali hakim.

Banyaknya pelaksanaan perkawinan menggunakan wali hakim yang dikarenakan Bila abin (ALK), karena dewasa ini banyak para remaja yang melakukan hubungan suami istri di luar perkawinan yang sah.

Pergaulan para remaja yang melakukan hubungan suami istri di luar perkawinan yang sah di akibatkan karena remaja tidak memiliki mental yang sehat dan gagal dalam penyerapan moral yang baik. Supaya pergaulan para remaja yang sering kali melakukan hubungan suami istri perkawinan yang sah, dapat dicegah dengan berbagai cara yaitu memberikan pendidikan agama dan akhlak yang baik, melakukan pengawasan yang mana pengawasan ini dapat dilakukan oleh orang tua, dan guru di sekolah, memberikan pendidikan seks sejak dini dan perlunya tindakan tegas dari pemerintah.


SUMBER :

  1. Buku
  1. Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Dina Utama, Semarang, 1993.
  2. M.Abdul Mujied, dkk, Kamus Istilah Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hlm. 416.

 

  1. Peraturan
  1. Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Undang Undang  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang  Perkawinan
  3. Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
  4. Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim

 

  1. Hasil Wawancara
  1. Wawancara dengan Kepala KUA Lebakwangi, 4 April 2017

 

PENULIS : ADV.CHYNTYA.S.H



[1]M.Abdul Mujied, dkk, Kamus Istilah Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hlm. 416.

[2]Fiqih Munakahat, Dina Utama, Semarang, 1993.hlm. 65.

[3] Wawancara dengan Kepala KUA Lebakwangi, 4 April 2017.