HUKUM NIKAH MUT’AH DI INDONESIA


HUKUM NIKAH MUT’AH DI INDONESIA

HUKUM NIKAH MUT’AH DI INDONESIA

 

Pengertian Nikah Mut’ah

Apa yang dimaksud dengan nikah mut’ah? Al-Musawi mengartikan pengertian nikah mut’ah adalah perkawinan sementara atau perkawinan terputus, di mana seorang laki-laki melakukan perkawinan dengan seorang perempuan untuk waktu sehari, seminggu, atau sebulan. Sederhananya, secara terminologi, nikah mut’ah dapat diartikan sebagai nikah atau kawin kontrak.

Ada banyak alasan mengapa praktik nikah mut’ah dijalankan. Terkait hal tersebut, Sayyid Sabiq menerangkan bahwa tujuan dari nikah mut’ah adalah kenikmatan seksual semata, sehingga berbeda dari tujuan pernikahan biasa.

Jika secara umum tujuannya berbeda, bagaimana dengan cara nikah mut’ah? Penting untuk diketahui bahwa selayaknya rukun pernikahan Islam, dalam praktik nikah mut’ah ada ijab kabul. Bedanya, dalam ijab kabul tersebut, disampaikan periode pernikahan yang disepakati, bisa sekian minggu, bulan, atau tahun.

Selain itu, dalam proses ijab kabulnya, ada formula akad khusus yang wajib dibacakan. Formula akad bagi wanita yakni “zawwajtuka nafsi'' yang berarti ‘saya nikahkan diriku’. Kemudian, bagi pihak pria yakni “qabiltu al-tazwij” yang berarti ‘saya terima nikahnya’ sebagai tanda dirinya menerima wanita tersebut menjadi istrinya.

Sebagai penjelas, menurut Mardani, ciri-ciri dari nikah mut’ah adalah sebagai berikut.

  1. Ijab kabul menggunakan kata-kata nikah atau dengan kata mut’ah.
  2. Tanpa wali.
  3. Tanpa saksi.
  4. Ada ketentuan dibatasi waktu.
  5. Tidak ada waris mewarisi antara suami istri.
  6. Tidak ada talak.

Hukum Nikah Mut’ah

Bagaimana hukum kawin kontrak dari aspek hukum agama dan hukum negara? Jika meninjau hukum nikah mut’ah dalam Al-Qur’an, surah An-Nisa ayat 24 disebut-sebut sebagai dasar aturan perihal pernikahan ini. Akan tetapi, paham Syiah dan Sunni memiliki perbedaan pandangan yang besar dalam menafsirkan ayat tersebut.

Praktik nikah mut’ah atau kawin kontrak kerap ditemui di Indonesia. Faktanya, perkawinan jenis ini dinilai tidak sah oleh hukum karena bertentangan dengan tujuan pernikahan.

Diterangkan oleh Miftahatul Qalbi, paham Syiah berpendapat bahwa redaksi istamta’tum surah An-Nisa ayat 24 merupakan akar dari kata mut’ah. Oleh karenanya, pengikut aliran Syiah berpendapat bahwa hukum nikah mut’ah menurut Al-Qur’an adalah sah. Negara berpaham Syiah, seperti Iran bahkan memperbolehkan dan mengatur praktik pernikahan ini dalam hukum kenegaraannya.

Sementara itu, paham Sunni mengharamkan praktik nikah mut’ah. Sunni berpendapat bahwa surah An-Nisa ayat 24 telah ditafsirkan dengan surah Al-Mu’minun ayat 5 hingga 7. Oleh karenanya, surah tersebut tidak berkaitan dengan mut’ah.

Jika ditinjau berdasarkan hukum positif, nikah mut’ah atau kawin kontrak ini dianggap tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 1 jo. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Unsur yang dimaksud antara lain:

  1. tidak memenuhi tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal, karena hanya bersifat singkat dan sementara;
  2. tidak dilakukan menurut hukum masing-masing agama atau tidak sesuai dengan aturan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai aturan pernikahan agama Islam; dan
  3. tidak melalui pencatatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, kawin kontrak bertentangan dengan beberapa aturan dalam KHI. Pasal 2 KHI menerangkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Konsep kawin kontrak tidak bertujuan untuk melaksanakan ibadah, hanya sebagai cara menyalurkan nafsu seksual semata.

Selain itu, Pasal 3 KHI menyebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Mengingat adanya periode yang terbatas dengan tujuan akhir berpisah setelah periode tersebut berakhir, hubungan kawin kontrak tidak memiliki tujuan yang sama sebagaimana diterangkan dalam pasal tersebut. Tidak ada kehidupan rumah tangga yang hendak dibina dalam kawin kontrak.

Selain tidak sesuai dengan UU Perkawinan dan KHI, nikah mut’ah juga telah diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui fatwa MUI yang dikeluarkan pada 25 Oktober 1977. Dalam fatwa tersebut, MUI memaparkan bahwa nikah mut’ah bertentangan dengan tujuan pensyariatan akad nikah, yaitu untuk mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan.

Selain itu, MUI juga menyebutkan bahwa nikah mut’ah dilarang karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Padahal, peraturan perundang-undangan itu wajib ditaati masyarakat. Oleh sebab itu, MUI menetapkan bahwa pernikahan jenis ini haram dan pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

SUMBER : KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)