Diberatkannya Hukuman Pidana Seorang Terdakwa
Diberatkannya Hukuman Pidana Seorang Terdakwa
Secara umum, suatu rumusan tindak pidana setidaknya memuat rumusan tentang :
- Subyek hukum yang menajdi sasaran norma tersebut (addresaat norm);
- Perbuatan yang di larang (Strafbaar), baik dalam bentuk melakukan sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan);
- Ancaman pidana (strafmaat).
Dasar pemberatan pidana umum ialah dasar pemberatan pidana yang berlaku untuk segala macam tindak pidana, baik yang ada di dalam kodifikasi maupun tindak pidana di luar KUHP. Dasar pemberatan pidana khusus dirumuskan dan berlaku pada tindak pidana tertentu saja, dan tidak berlaku untuk tindak pidana yang lain. Undang-undang mengatur tentang tiga dasar yang menyebabkan diberatkannya pidana umum, ialah :
- Dasar pemberatan pidana karena jabatan
Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusan lengkapnya adalah :
“ Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar suaru kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan dan sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya ditambah sepertiga”. Dasar pemberat pidana tersebut dalam pasal 52 ini adalah terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai negeri) mengenai 4 hal, yaitu dalam melakukan tindak pidana dengan :
- Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya;
- Memakai kekuasaan jabatannya;
- Menggunakan kesempatan karena jabatannya;
- Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya.
Subjek hukum yang diperberat pidananya dengan dapat ditambah sepertiga, adalah bagiseorang pejabat atau pegawai negeri (ambtenaar) yang melakukan tindak pidana dengan melanggar dan atau menggunakan empat keadaan tersebut di atas.
- Dasar pemberatan pidana dengan menggunakan sarana bendera kebangsaan
Melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana bendera kebangsaan dirumuskan dalam Pasal 52 (a) KUHP yang berbunyi bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut ditambah sepertiga. Pasal 52 (a) disebutkan secara tegas penggunaan bendera kebangsaan itu adalah waktu melakukan kejahatan manapun, termasuk kejahatan menurut perundang-undangan diluar KUHP.
- Dasar pemberatan pidana karena pengulangan
Ada 2 (dua) arti pengulangan yang satu menurut masyarakat dan yang satu menurut hukum pidana. Menurut masyarakat (social), masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah dipidana yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, disini ada pengulangan tanpa memperhatikan syarat-syarat lainnya. Sedangkan pengulangan menurut hukum pidana, yang merupakan dasar pemberat pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya melakukan tindak pidana tetapi juga dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Adapun rasio dasar pemberatan pidana pada pengulangan ini adalah terletak pada 3 faktor yaitu :
- Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana;
- Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena tindak pidana yang pertama;
- Pidana itu telah dijalankan oleh yang bersangkutan.
Selain dasar pemberatan pidana umum, undang-undang juga menyebutkan juga beberapa dasar alasan pemberatan pidana khusus. Disebut dasar pemberatan pidana khusus, karena hanya berlaku pada tindak pidana tertentu yang dicantumkan alsan pemberatan itu saja, dan tindak berlaku pada tindak pidana lain.
Pemberatan pidana meliputi aspek kualitas maupun kuantitas pidana, yang dimakasud dengan kualitas disini apabila pemberatan terjadi karena perubahan dari satu jenis pidana yang lebih ringan kepada jenis pidana lain yang lebih berat dengan memperhatikan ketentuan Pasal 69 KUHP sedangkan pemberatan dari aspek kuantitas disini adalah apabila dibandingkan dengan rumusan tindak pidana lain yang lebih umum sifatnya, yang diatur dalam suatu Undang-undang Pidana Khusus. Dalam hal ini, terjadi perubahan jenis dan jumlah ancaman pidana yang ditentukan dalam suatu delik yang satu yang bersifat generalis, apabila dibandingkan dengan delik lain yang dalam suatu perbuatan yang dilarang dan ditambahkan hal-hal lain akan menjadi ketentuan pidana yang bersifat spesialis.
SUMBER : KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)