BERBELIT – BELIT SEBAGAI ALASAN PEMBERATAN PIDANA
BERBELIT – BELIT SEBAGAI ALASAN PEMBERATAN PIDANA
Dalam persidangan perkara pidana, apabila diperhatikan pada saat hakim atau majelis hakim akan melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa seringkali mengingatkan agar terdakwa memberikan keterangan yang sebenar-benarnya meskipun terdakwa tidak disumpah pada saat memberikan keterangan.
Alasan yang diberikan oleh hakim adalah bahwa keterangan yang benar akan menolong diri terdakwa sendiri, bahkan sering kali diikuti dengan “Imbalan” yang dijanjikan berupa keringanan hukuman. Sebaliknya “ancaman” bagi terdakwa yang bertindak sebaliknya dan berbelit-belit maka hal tersebut akan menjadi alasan untuk memperberat pidana yang dijatuhkan, tentu saja apabila dalam persidangan tersebut kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Lalu apakah memang menurut hukum, bahwa memberikan keterangan yang berbelit-belit dapat digunakan sebagai alasan memberatkan pidana, sebagaimana ada ancaman pidana bagi saksi yang memberikan keterangan tidak benar.
Asas Praduga Tidak Bersalah
Praduga tidak bersalah, demikian perkataan yang diucapkan oleh advokat yang mendampingi kliennya terutama untuk kasus-kasus yang menarik sehingga muncul di media massa. Asas ini berasal dari sistem hukum common law, terutama Inggris yang tertuang dalam Bill of Right. dalam bentuk lain pada sistem hukum Eropa Kontinental, terutama Belanda, hal yang serupa adalah adanya hak dari tersangka dan atau terdakwa untuk melakukan ‘review’ kepada ‘examining judges’ atas proses hukum yang dialaminya.
Pada dasarnya, baik
dalam sistem hukum common law maupun Eropa Kontinental adalah memberikan suatu
jaminan bahwa suatu proses hukum yang dilalui oleh tersangka/terdakwa telah
berlangsung secara jujur, adil dan tidak memihak. Jadi asas praduga tak
bersalah adalah suatu keniscayaan akan pilihan proses hukum yang due process of law dari suatu negara.
Apabila diperhatikan dalam konstitusi negara ini maka meskipun asas praduga tak bersalah tersebut berlaku universal, akan tetapi tidak ada satupun pasal yang menyebutkan akan hal itu, bahkan setelah terjadi beberapa perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945. Asas praduga tak bersalah dapat ditemukan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana butir ke 3 huruf c yaitu: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yaitu Pasal 8 ayat (1) juga menyebutkan hal yang sama.
Secara Internasional,
rumusan asas praduga tak bersalah terdapat dalam Pasal 14 paragraf 2 Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan
kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right
to be presumed innocent until proved guilty according to law”. Sepintas ada perbedaan rumusan secara internasional dengan
rumusan menurut hukum acara pidana nasional, yaitu tidak perlu sampai pada
putusan yang berkekuatan hukum tetap, akan tetapi seperti halnya dalam sistem
hukum common law, yaitu ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan
bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”, jadi
tidak harus menunggu putusan berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu.
Beban Pembuktian dan Alat-Alat Bukti dalam
Dalam Perkara Pidana
Pembuktian adalah titik sentral dalam rangkaian pemeriksaan perkara pidana (terutama di sidang pengadilan) dalam proses sistem peradilan pidana. Melalui ‘ruang’ yang disebut pembuktian itulah batas-batas persidangan terbentuk dalam rangka mencari dan mempertahankan kebenaran. Pembuktian dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang berisi pedoman dan penggarisan tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Menggunakan asas praduga tak bersalah adalah konsekuensi pilihan akan sistem peradilan pidana, yaitu sistem due process model. Dengan menganut sistem tersebut maka perlindungan terhadap hak asasi tersangka dan atau terdakwa lebih menonjol karena memang kualitas proses hukum yang lebih diutamakan, bahkan seringkali tidak efisien. Hal ini tentu berbeda apabila pilihan sistem peradilan pidana yang dianut adalah crime control model yang mengutamakan efisiensi, kecepatan dan asas praduga bersalah.
Jaminan akan perlindungan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa dalam due process model bukan tanpa alasan. Seorang tersangka/terdakwa akan berhadapan dengan alat-alat negara, terutama penyidik serta penuntut umum yang dilengkapi dengan segala kewenangan untuk membatasi hak asasi sesorang yang dijamin oleh konstitusi. Maka, konstitusi juga mengamanatkan agar jaminan penggunaan kewenangan oleh penyidik dan/atau penuntut umum dilakukan sesuai dengan tujuannya. Hukum acara pidana harus memastikan bahwa penggunaan kewenangan dapat diukur dan diuji agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Dalam konsteks inilah muncul asas praduga tak bersalah dalam proses due process of law.
Dalam perkara pidana,
kewajiban untuk membuktikan terdakwa bersalah berada pada penuntut umum. Jadi
Penuntut Umumlah yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa atas
apa yang telah didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya. Dalam
perkembangannya, terutama atas kejahatan yang digolongkan sebagai extra
ordinary crime, sistem pembuktian yang ada di pundak terdakwa juga bergeser ke
arah sebaliknya, dimana terdakwa juga dibebani kewajiban untuk membuktikan
‘ketidakbersalahannya’, semisal untuk tindak pidana pencucian uang, untuk
membuktikan asal-usul uang atau kekayaan yang dimilikinya.
Dalam hukum acara pidana telah secara limitatif
memberikan pedoman dengan apa dan bagaimana apa yang didakwakan kepada terdakwa
harus dibuktikan oleh penuntut umum, demikian juga sebaliknya, yaitu dengan apa
yang disebut sebagai alat-alat bukti. Pasal 184 KUHAP menegaskan yang termasuk
sebagai alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan
keterangan terdakwa. Melalui ‘ruang’ pembuktian ini pula sikap para pihak
termanifestasikan, penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa sebagaimana
yang didakwakan, sebaliknya terdakwa dan penasehat hukumnya akan membuktikan
ketidakbersalahan atas apa yang telah didakwakan penuntut umum. Hakim
(=pengadilan) lah yang akan menilai dan mempertimbangkan apa yang disebut
dengan ‘pembuktian’ yang diajukan oleh penuntut umum maupun terdakwa dan
penasehat hukumnya.
Hukum acara telah
pula membatasi dan mengatur cara dan bagaimana hakim dalam mempergunakan dan
menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat-alat bukti, yang
dibenarkan undang-undang dalam mewujudkan kebenaran materiil. Dalam kerangka
mencari kebenaran inilah banyak muncul teori tentang sistem pembuktian yang
digunakan dalam membuktikan perbuatan yang didakwakan penuntut umum kepada
terdakwa.
Banyak teori mengenai
sistem pembuktian, yang digariskan oleh hukum acara pidana sebagai acuan yang
digunakan hakim dalam memutus suatu perkara pidana, yang dalam bahasa kerennya ‘negatief wettelijk stelsel’ atau sistem pembuktian berdasarkan undang-undang
secara negatif. Singkatnya bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah (sebagaimana
telah disebutkan diatas), hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana
terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sistem pembuktian ini jelas
tersurat dalam bunyi Pasal 183 KUHAP.
Keterangan Terdakwa Sebagai Salah Satu Alat
Bukti
Salah satu alasan sehingga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 disebut maha karya anak bangsa dalam bidang hukum adalah adanya perubahan mendasar pada perlakukan terhadap tersangka dan/atau terdakwa. Jika sebelumnya tersangka dan atau terdakwa diposisikan sebagai obyek pemeriksaan dalam rangkaian sistem peradilan pidana, maka dalam KUHAP disebutkan bahwa tersangka dan atau terdakwa adalah subyek dalam sistem peradilan pidana. Tersangka dan/atau terdakwa harus ditempatkan pada kedudukan manusia dengan segala hak asasi yang melekat padanya. Yang menjadi obyek adalah perbuatan melanggar hukum yang didakwakan kepada terdakwa.
Dalam sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif yang dianut dalam KUHAP, maka jenis dan alat bukti yang sah sudah ditentukan secara limitatif. Beban pembuktian ada pada negara, yang dalam hal ini diwakili oleh penuntut umum dengan segala kewenangannya. Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa.
Jika sebelum KUHAP berlaku, tersangka dan/atau terdakwa adalah obyek pemeriksaan maka pemeriksaan akan mengejar pengakuan tersangka dan/atau terdakwa dalam membuktikan tindak pidana. Dengan sistem tersebut, seringkali negara (dengan alat kelengkapannya) menyalahgunakan kewenangan yang ada demi mengejar pengakuan dalam membuktikan suatu tindak pidana. Setelah berlakunya KUHAP maka pengakuan tersangka dan/atau terdakwa tidak lagi menjadi satu-satunya hal yang dikejar, akan tetapi hanya berupa keterangan tersangka dan/atau terdakwa yang kedudukan sama dengan alat-alat bukti yang lainnya. Singkatnya tanpa adanya pengakuan atau malah tersangka dan/atau terdakwa memberikan keterangan, apabila alat-alat bukti yang lainnya sudah memenuhi minimum pembuktian dan hakim memperoleh keyakinan akan kesalahan terdakwa, maka hal tersebut sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Berbelit-belit Sebagai Alasan Memberatkan Pidana
Alasan yang memberatkan dan alasan yang meringankan dalam tulisan ini bukanlah alasan memberatkan dan meringankan ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHP. Dalam KUHP juga ada beberapa ketentuan yang menyebutkan alasan yang dapat digunakan untuk memperberat ancaman maksimal ancaman pidana (biasanya ditambah sepertiga) seperti perbarengan perbuatan, pengulangan tindak pidana, menggunakan bendera dan melakukan kejahatan dalam jabatan tertentu. Sedangkan alasan yang meringankan ancaman pidana (biasanya turun sepertiga dari ancaman maksiman) seperti percobaan atau perbantuan dalam melakukan tindak pidana.
Alasan memberatkan dan meringankan dalam tulisan ini adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 197 ayat (1) butir f KUHAP yang mensyaratkan bahwa suatu putusan pemidanaan haruslah mencantumkan alasan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Kelalaian terhadap hal tersebut akan menyebabkan putusan menjadi batal demi hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP.
Meskipun mengancamkan batalnya putusan atau kelalaian mencantumkan alasan memberatkan dan meringankan terdakwa, akan tetapi apabila diperhatikan seringkali hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan dan meringankan dalam suatu putusan sangat umum sifatnya. Untuk alasan yang memberatkan seperti perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat, menimbulkan kerugian bagi korban, menghambat program pemerintah, sedangkan untuk hal yang meringankan seperti mengakui dan menyesali, terdakwa masih muda dan mempunyai tanggungan keluarga, serta sopan di persidangan.
Dalam beberapa putusan juga ditemui alasan yang memberatkan berupa terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan berbelit-belit di persidangan. Namun apakah berbelit-belitnya terdakwa di persidangan dapat digunakan sebagai alasan memberatkan? Terutama apabila dikaitkan dengan asas praduga tak bersalah dan sistem pembuktian (beban pembuktian) menurut KUHAP. Ketentuan pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa, “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Beban pembuktian seperti ini dapat dikategorisasikan beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”.
Sebagaimana
dikemukakan di atas, keterangan terdakwa hanya sebagai salah satu alat bukti
yang dapat digunakan untuk membuktikan suatu tindak pidana adalah konsekuensi
logis dari beban pembuktian yang ada pada Penuntut Umum. Hal ini berkorelasi
asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri
sendiri. Sebagai konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka
kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan
keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam
proses penyidikan maupun dalam proses persidangan (the right to remain silent).
Berangkat dari hal di atas, maka sesungguhnya
apabila terdakwa dalam persidangan memberikan keterangan yang ‘berbelit-belit’
dikaitkan dengan berbagai hak terdakwa, diantaranya equality before the law, presumption of innocence dan non-self incrimination dan dikaitkan pula dengan sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif serta beban pembuktian ada pada penuntut umum,
maka menurut penulis hal tersebut tidak dapat digunakan sebagai alasan
memberatkan pidana.
Menggunakan keterangan terdakwa yang berbelit-belit sebagai alasan memberatkan pidana sama halnya kembali kepada sistem yang menempatkan terdakwa sebagai obyek pemeriksaan dengan mengejar pengakuan dari terdakwa. Penggunaan alasan tersebut seringkali lebih bersifat subyektif, dimana dengan keterangan terdakwa tersebut seolah menjadikan proses pemeriksaan menjadi tidak mudah. Tentu hal tersebut (sekali lagi menurut penulis) tidak dapat dijadikan alasan yang memberatkan karena sudah menjadi tugas negara (dengan perangkatnya) untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat-alat bukti yang ada, termasuk (tetapi tidak semata) keterangan terdakwa saja.
Akan tetapi, sebaliknya apabila terdakwa bersikap jujur dan mengakui terus terang perbuatannya, dapat dijadikan alasan yang meringankan pidana, dengan asumsi bukan karena dengan keterangan tersebut pemeriksaan menjadi mudah akan tetapi lebih karena dengan mengakui maka diharapkan terdakwa benar menyesali perbuatannya sehingga di kemudian hari tidak akan mengulanginya lagi.
Keterangan terdakwa dalam hukum acara hanya merupakan salah satu alat bukti, disamping alat-alat bukti lainnya yang telah ditentukan dalam KUHAP. Sistem pemeriksaan yang menempatkan terdakwa bukan sebagai obyek akan tetapi sebagai subyek dalam proses peradilan pidana, telah menempatkan terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia dengan segala hak yang melekat padanya.
Dengan segala hak yang melekat padanya tersebut, maka apabila keterangan terdakwa yang dirasakan berbelit-belit, sehingga ‘menyulitkan’ jalannya pemeriksaan persidangan hendaknya tidak dapat dijadikan alasan memberatkan pidana, sedangkan apabila sebaliknya jujur dan mengakui terus terang perbuatannya dapat digunakan sebagai alasan meringankan pidana.
Karena sudah menjadi tugas negara (dengan segala perangkatnya) untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat-alat bukti yang ada secara profesional, dimana keterangan terdakwa hanya salah satu alat bukti saja dan bukan satu-satunya yang hendak dikejar semata pengakuannya.
SUMBER : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)