Asas Praduga Tak Bersalah Dalam Perkara Perdata


Asas Praduga Tak Bersalah Dalam Perkara Perdata

Asas Praduga Tak Bersalah dalam Perkara Perdata

Asas praduga tidak bersalah yang terkandung dalam Pasal 8 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman secara yuridis tidak disebut dalam HIR/Rbg sebagai ketentuan hukum beracara perdata di pengadilan. Oleh karena asas ini tidak disebutkan dalam HIR/Rbg, sedangkan dalam KUHAP diatur tentang asas praduga tidak bersalah, maka asas ini lebih dikenal dalam perkara pidana. Namun sebagai asas umum hukum acara, maka asas praduga tidak bersalah ini juga dikenal dalam perkara perdata, dengan mengingat dasar filosofis lahirnya asas praduga tidak bersalah, yaitu persamaan di depan hukum dan realisasi hukum yang diberikan hakim melalui putusaannya dianggap sebagai kebenaran.

Pihak penggugat dan tergugat dalam perkara perdata, pada dasarnya mempunyai kedudukan yang seimbang dalam hukum sehingga penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan menggunakan sistem adversari. Perbedaan kedudukan antara pihak-pihak dalam perkara pidana ini menimbulkan perbedaan anatomi antara putusan hakim perdata dengan putusan hakim pidana. Pada putusan hakim perdata, pertimbangan tentang duduknya perkara diurai- kan secara terpisah dari pertimbangan hukumnya, sedangkan dalam putusan hakim pidana tidak dipisahkan antara pertimbangan duduk perkara/peristiwanya dengan pertimbangan hukumnya. Perbedaan ini disebabkan karena dalam proses beracara perdata, kedudukan para pihak adalah sama-sama mengajukan peristiwa yang disengketakan dan mengajukan bukti-bukti untuk atau dalil-dalil untuk menguatkan peristiwa yang diajukannya. Dalam putusan hakim pidana, pertimbangan peristiwa yang menyangkut pertimbangan atas fakta-fakta, dan keadaan, serta pertimbangan atas bukti-bukti yang terjadi di persidangan sebagai dasar hakim untuk menentukan kesalahan terdakwa disatukan (Pasal 197 ayat (1) KUHAP).

Realisasi penerapan asas praduga tidak bersalah dalam perkara perdata didasarkan ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR/124 ayat (1) Rbg. Ketentuan ini mengharuskan gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat, dikenal dengan asas actor sequitor forum rei. Berdasarkan asas ini, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghadap ke Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat karena tergugat belum tentu bersalah atau gugatan si penggugat belum tentu dikabulkan oleh pengadilan.

Asas actor sequitor forum rei yang ter- kandung dalam Pasal 118 ayat (1) HIR/124 ayat (1) Rbg menginginkan agar si tergugat tetap dihormati dan diakui hak-haknya selama belum terbukti kebenaran gugatan penggugat dalam bentuk putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, oleh karena itu, tergugat tidak dapat dipaksa untuk berkorban demi kepentingan pihak penggugat yang tidak tinggal sekota dengan si tergugat. Asas actor sequitor forum rei, lahir karena secara teoretis, kewenangan mengadili dari suatu pengadilan terdiri dari kewenangan atau kompetensi absolut dan kewenangan/kompetensi relatif. Kewenangan atau kompetensi absolut/mutlak diartikan sebagai kekuasaan/ kewenangan mengadili suatu pengadilan dari berbagai jenis pengadilan dalam suatu negara,


sedangkan kompetensi relatif adalah kekuasaan/kewenangan mangadili suatu pengadilan berdasarkan pembagian kekuasaan dari pengadilan sejenis.

Asas actor sequitor forum rei ini berkaitan dengan asas persamaan di depan hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU Ke- kuasaan Kehakiman. Ketentuan tersebut, menetapkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Berdasarkan asas persamaan ini, maka semua ma- nusia dipandang sama sehingga harus diperlakukan sama. Tuntutan harus sama dilandasi oleh pengakuan akan kodrat manusia yang mempu- nyai derajat dan martabat yang sama, sehingga manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama pula