ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (POLYGHRAPH) DALAM PERSIDANGAN HUKUM PIDANA


ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (POLYGHRAPH) DALAM PERSIDANGAN HUKUM PIDANA

ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (POLYGHRAPH)

DALAM PERSIDANGAN HUKUM PIDANA

 

 

Pengertian Polygraph atau Alat Pendeteksi Kebohongan

Polygraph berasal dari bahasa yunani yang mempunyai dua kata yaitu poly yang berarti lebih dari satu dan graph yang berarti tulisan atau isntrumen untuk merekam. Polyraph disebut juga dengan lie detector, yaitu sebuah instrumen yang dapat mengukur dan menyimpan berbagai respon psiologi seperti, tekanan darah  detak jantung, kondisi kulit tubuh saat di ajukan sejumlah pertanyaan. Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa lie detector adalah sebuah alat pendeteksi kebohongan yang mengukur perubahan fisiologis seperti tekanan darah dan denyut jantung berdasarkan gagasan bahwa penipuan melibatkan unsur kecemasan.

Pengaturan Mesin Polygraph Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian Persidangan Perkara Pidana

Pembuktian suatu tindak pidana telah diatur secara tegas dalam sistem pidana formil (KUHAP). Sistem ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa, untuk pada akhirnya ditarik kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya. Mengenai hal ini Pasal 183 KUHAP menyatakan: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Pembuktian salah satu proses untuk menentukan hakikat adanya fakta-fakta yang tidak terang menjadi terang yang berhubungan dengan adanya tindak pidana. Pembuktian Hukum pidana berpedoman pada pasal 183 kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan pasal 184 Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Sistem pembuktian menganut sistem teori negatif yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakimlah yang akan menghasilkan putusan. Suatu kasus yang sedang disidangkan, Terlebih dalam perkara pidana, pembuktian sangatlah esensial karena yang dicari dalam perkara pidana adalah kebenaran materil.32 Pembuktian suatu tindak pidana telah diatur secara tegas dalam sistem pidana formil (KUHAP). Sistem ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materil yang dilakukan terdakwa, untuk pada akhirnya ditarik kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya. Mengenai hal ini Pasal 183 KUHAP menyatakan: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Alat bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti lain, namun hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk tersebut, sehingga hakim bebas untuk menilai dan mempergunakannya dalam upaya pembuktian. Selain itu, petunjuk sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri dalam membuktikan kesalahan terdakwa, karena hakim tetap terikat pada batas minimum pembuktian sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP. Hasil pemeriksaan mesin polyraph pada proses penyelidikan dapat dianggap sebagai petunjuk, karena dapat dikategorikan sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang merupakan perluasan dari alat bukti surat sebagai bahan untuk dijadikan petunjuk bagi hakim dalam membuktikan suatu perkara.

Alat bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti lain, karena dalam perumusannya hasil lie detector ini didukung oleh ahli dan dikeluarkan dalam bentuk surat sehingga alat ini bisa dijadikan alat bukti. Hasil pemeriksaan lie detector pada proses penyelidikan dapat dianggap sebagai petunjuk, karena dapat dikategorikan sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang merupakan perluasan dari alat bukti surat sebagai bahan untuk dijadikan petunjuk bagi hakim dalam membuktikan suatu perkara. dan juga persesuaian antara masing-masing alat bukti dengan fakta dan tindak pidana yang didakwakan. Dari kata adanya persesuaian dapat disimpulkan bahwa sekurang-kurangnya harus ada dua petunjuk untuk mendapatkan bukti yang sah. Kekuatan pembuktiannya terletak pada hubungan banyak atau tidaknya perbuatan yang dianggap sebagai petunjuk dengan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa. Mesin polyraph merupakan bentuk alat bukti petunjuk berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk didefinisikan sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena pesesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk tersebut hanya dapat di peroleh keterangan saksi, surat dan terdakwa.  

Menurut Susetio Pramusinto, ilmu forensik adalah ilmu multi disiplin yang menerapkan ilmu pengetahuan alam, kimia, kedokteran, biologi, psikologi dan kriminologi dengan tujuan membuat terang guna membuktikan ada tidak nya kasus kejahatan atau pelanggaran dengan memeriksa barang bukti atau physical evidance dalam kasus tersebut. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Nasib terdakwa ditentukan melalui pembuktian. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang “tidak cukup” maka pembuktian kepada terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa yang dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan “bersalah”.

Alat bukti informasi atau dokumen elektronik merupakan alat bukti baru dalam pembuktian suatu perkara pidana Alat bukti informasi dan dokumen elektronik mempunyai kekuatan pembuktian apabila dapat di akses, dijamin keaslian dan keutuhannya. Alat bukti informasi atau dokumen elektronik dapat digunakan dalam perkara pidana selama bisa diperoleh dan dibuktikan dalam persidangan . Penggunaan alat bukti informasi atau dokumen elektronik sangat membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana. Alat bukti ini sudah jelas pengaturannya didalam Pasal 184 KUHP dan didalam peraturan kapolri namun perlu adanya aturan tertulis untuk tata cara penggunaannya agar dalam pemeriksaan menggunakan alat lie detector ini tidak dilakukan dengan cara yang salah , karena penggunaannya dengan cara yang salah akan mempengaruhi hasil dari lie detector itu sendiri karena hakikatnya hasil yang dikeluarkan dari alat ini adalah kondisi fisik dan psikologis tersangka dalam pemeriksaan, sehingga jika penggunaannya dengan cara yang salah atau penuh tekanan dan tidak memperhatikan kondisi kesehatan tersangka maka hasil dari lie detector itu akan merugikan tersangka, maka perlu adanya aturan tertulis dalam penggunaan alat ini agar hasil yang didapat bisa di pertanggung jawabkan sehingga tercapainya kepastian hukum itu sendiri.

Kekuatan Alat Bukti Mesin Polygraph Dalam Pembuktian Persidangan Perkara Pidana

Kekuatan alat bukti terhadap putusan pengadilan dalam menyelesaikan perkara pidana sangat penting bagi siapa saja yang menyelesaikan perkara pidana. Kekuatan alat bukti sangat membantu aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian/Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan dan hakim dalam suatu perkara pidana karena tanpa adanya alat bukti, suatu perkara tidak bisa diselesaikan secara singkat. Sebaliknya dengan kuatnya alat bukti yang dimiliki, maka aparat penegak hukum akan memeriksa perkara pidana tersebut secara mendetail dan sejelas-jelasnya. Pembuktian dilihat dari perspektif hukum acara pidana, yakni ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa maupun penasihat hukum, semuanya terikat pada ketentuan dan tata cara, serta penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.

Unsur dalam pembuktian adalah alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP antara lain:

a) Keterangan saksi;

b) Keterangan ahli;

c) Surat;

d) Petunjuk;

e) Keterangan terdakwa.

Phyllis B.Gerstenfield menjelaskan direct evidence merupakan bukti yang cenderung menunjukkan keberadaan fakta tanpa bukti tambahan. Sementara circumstantial evidence merupakan bukti yang membutuhkan pembuktian lebih lanjut sebelum menarik kesimpulan atas bukti tersebut. Larry E. Sulivan dan Marie Simonetti Rosen sebagaimana dikutip Eddy O.S Hiariej, membagi bukti dalam 3 (tiga) kategori, yaitu

  1. bukti langsung,
  2. bukti tidak langsung dan
  3. bukti fisik.

Bukti langsung membentuk unsur kejahatan melalui saksi mata, pengakuan atau apapun yang diamati termasuk tulisan dan suara, video atau rekaman digital lainnya. Bukti tidak langsung didasarkan pada perkataan dan analisis yang masuk akal. Bukti fisik dihasilkan dari penyidikan kriminal untuk menentukan adanya kejahatan yang dihubungkan antara suatu barang, korban dan pelakunya. Teori pembuktian yang dipakai sebagai dasar pembuktian oleh hakim yaitu pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel). Sistem pembuktian ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim/ conviction-in time. Bahwa salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

 Peranan alat bukti petunjuk, khususnya alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai alat bukti yang sah dan dapat berdiri sendiri tentunya harus dapat memberikan jaminan bahwa salinan data dari hasil tes pengujian alat pendeteksi kebohongan (lie detector) berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku atau telah diprogram dengan sedemikian rupa sehingga hasil tes dari pengujian alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dapat diterima sebagai alat bukti dalam kasus tindak pidana.

Lie detector harus diterima karena jelas didalam 184 KUHP termasuk bukti petunjuk namun harus dijabarkan lagi tata cara penggunaannya agar tersangka tidak merasa tertekan dalam pemeriksaan karena alat bukti ini didukung oleh alat elektronik,surat dan ahli dalam merumuskannya menjadi alat bukti. Kemudian harus dijelaskan tata cara penggunaannya agar dalam pengunaannya tidak menyalahi aturan sehingga tidak terwujudnya kepastian hukum. Perihal alat ini digunakan atau tidak itu kembali kepada keyakinan hakim itu sendiri.

 

SUMBER : KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA