Asas Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi


Asas Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi

Asas Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi

Dalam hukum acara pidana di Indonesia, pembuktian tindak pidana merupakan kewajiban dari penuntut umum yang menuntut terdakwa di hadapan pengadilan. Hal ini diatur di dalam Pasal 66 KUHAP yang dengan jelas mengatur bahwa terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Adapun, bunyi pasalnya adalah sebagai berikut:

Dalam tindak pidana korupsi ada yang namanya asas pembuktian terbalik. Apa itu asas pembuktian terbalik?

Asas pembuktian terbalik adalah suatu jenis pembuktian yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Asas ini mewajibkan tersangka atau terdakwa melakukan pembelaan bahwa dirinya tidak bersalah. Asas ini lebih membebankan tersangka atau terdakwa daripada jaksa penuntut umum dalam melakukan pembuktian.

Salah satu undang-undang yang menjadi dasar hukum pembuktian terbalik adalah UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Di dalam UU 31/1999 mengatur sebuah sistem pembuktian yang memberikan beban pembuktian kepada terdakwa. Hal ini termaktub di dalam Penjelasan Umum UU 31/1999 yang menerangkan bahwa undang-undang ini menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Ketentuan mengenai pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana korupsi lebih lanjut diatur di dalam Pasal 37 UU 31/1999 yang berbunyi:

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Dalam Pasal 37 UU 31/1999 tersebut, terdakwa diberikan hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan kepadanya. Apabila hak tersebut digunakan oleh terdakwa dan ia dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan, maka pengadilan dapat menggunakan pembuktian dari terdakwa sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan yang membebaskan terdakwa.

Hak yang diberikan kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi tersebut merupakan bentuk pembuktian terbalik.

Selain memberikan hak kepada terdakwa, terdakwa juga dibebani kewajiban kepada untuk membuktikan perolehan seluruh harta bendanya yang diduga berhubungan dengan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur di dalam Pasal 37A ayat (1) dan (2) UU 20/2001, sebagai berikut:

(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.

(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaan, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (1) UU 20/2001 di atas memberikan kewajiban kepada terdakwa untuk membuktikan perolehan harta kekayaannya yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan.

Pembuktian tersebut memiliki implikasi jika terdakwa tidak dapat membuktikan perolehan harta kekayaannya, maka hal tersebut merupakan suatu petunjuk bahwa terdakwa memang telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan kepadanya.